Jumat, 07 Mei 2010

Munasabah Al-Qur'an

Bab I

Pendahuluan

Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia al-Qur’an dengan sempurna.

Ilmu Munâsabah merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsir; al-Qur’an yufassirûba’dhuhuba’dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami al-Qur’an harus utuh, jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang atomistik (sepotong-sepotong).


Bab II

Pembahasan Materi

(Munasabah)

A. Pengertian Munasabah

Munasabah secara bahasa berdasarkan Manna’ al-Qathan berarti kedekatan (al-Muqarrabah). Dapat diilustrasikan seperti “Ahmad munasabah dengan Isa”, berarti itu dapat dikatakan bahwa Ahmad mendekati atau menyerupai Isa.

Munasabahsecaraterminologidapatdiartikansegi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam suatu ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam banyak ayat, atau antara satu surat dengan surat yang lain, antara pembukaan surat dengan penutupan dan seterusnya. Menurut M. Quraisy Shihab munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an, baik surah maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu ayat dengan yang lainnya. Al-Biqa’i menjelaskan bahwa ilmu munasabah al-Qur’an adalah suatu ilmu yang mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an, baik ayat dengan ayat ataupun surah dengan surah. Dengan demikian pembahasan munasabah adalah berkisar pada segala macam hubungan yang ada seperti hubungan umum atau khusus, rasional dan sensual atau imajinatif, kausalitas, ‘illatdanma’lul, kontradiksi dan sebagainya.

Tentang adanya hubungan tersebut, maka dapat diartikan lebih jelas bahwa ayat-ayat yang berpisah-pisah tanpa adanya kata penghubung (pengikat) juga mempunyai munasabah atau persesuaian antara yang satu dengan yang lain.

Timbulnya ilmu munasabah juga ini tampaknya bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surah demi surah al-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam mushhaf sekarang (mushhaf ‘Utsmani atau yang lebih dikenal dengan mushhaf al-Imam), tidak didasarkan fakta kronologis. Kronologis turunnya ayat-ayat atau surah-surah al-Qur’an tidak diawali dengan Q.S al-Fatihah, tetapi diawali dengan lima ayat pertama dari Q.S Al-‘Alaq. Surah yang kedua turun adalah Q.S al-Muddatsir. Sementara surah kedua dalam mushhaf yang digunakan sekarang Q.S al-Baqarah.

Dari pernyataan di atas dapat juga disimpulkan bahwa munasabah bersifat Persesuaian/persambungan yang jelas/nyata (DzaahirulIrbath) dan Persambungan yang tidak jelas/samar (KhafiyyulIrbath).

B. Dasar-Dasar Pemikiran Adanya Munasabah

Asy-Syatibi menjelaskan bahwa ada satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian setiap ayat dan surat dapat dikatakan saling menjelaskan atau saling melengkapi. Sehingga seseorang harus tidak hanya mengarahkan pandangannya pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula pada akhir surat, begitu pula sebaliknya. Karena bila tidak demikian akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.

“Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriyah dari satu kosa kata menurut tinjauan etimologis bukan maksud si pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicara dari awal hingga akhir”, demikian kata Asy-Syatibi.

Mengenai hubungan antara suatu ayat atau surat dengan ayat atau surat lain (sebelum/sesudah), tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab mengetahui hubungan ayat-ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surat-surat yang bersangkutan. Ilmu al-Qur’an mengenai masalah ini disebut:

علم تناس الايات والسور

Ilmu ini dapat berpesan mengganti Ilmu Asbabun Nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tetapi kita bisa mengetahui adanya relevansi ayat itu dengan ayat lainnya. Sehingga dikalangan ulama timbul masalah : mana yang didahulukan antara mengetahui sebab turunnya ayat dengan mengetahui hubungan antara ayat itu dengan ayat lain. Seorang ulama bernama Burhanuddin al-Biqa’i menyusun kitab yang sangat berharga dalam ilmu ini, yang diberi nama:

نظم الدرر فى تناس الايات والسور

Ada beberapa pendapat diklangan ulama tentang ‘ilmu tuna subil ayati wassuwari ini. Ada yang berpendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya dengan ayat atau surat lain. Adapula yang berpendapat, bahwa hubungan itu tidak selalu ada hanya memang sebagian besar ayat-ayat dan surat-suratada hubungannya satu sama lain. Di samping itu, ada yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat lain.

Mengingat pentingnya ilmu ini, kami rasa perlu menambah penjelasan-penjelasan sebagai berikut :

1. Abu Bakar al-Naisabury ( wafat tahun 324 H ) adalah ulama yang pertama-tama memperkenalkan ‘ilmu tuna subil ayati wassuwari di Baghdad Iraq. Ia mencela/mengeritik ulama Baghdad, karena mereka tidak tahu adanya relevansi antara ayat-ayat dan antara surat-surat. Ia selalu berkata (apabila dibacakan kepadanya suatu ayat atau suatu surat) “Mengapa ayat ini dibuat (diletakkan) di dekat ayat itu? Dan apa hikmahnya membuat/meletakkan surah ini dekat dengan surat itu?”

2. Muhammad ‘Izah Daruzah menyatakan, bahwa semula orang mengira tidak ada hubungan antara satu ayat/surah dengan ayat/surah lain. Tetapi sebenarnya ternyata, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surat-suratitu ada hubungan antara satu dengan yang lain.Untuk jelasnya kami ambilkan contoh-contoh surat-suratyang ada hubungannya satu sama lain, ialah surah al-Fath, ada hubungannya dengan surah sebelumnya (surah al-Qital/Muhammad) dan juga dengan surah sesudahnya (al-Hujarat).

3. Dr. Shubi al-Shalih Mengemukakan bahwa mencari hubungan antara satu surah dengan surah lainnya adalah sesuatu yang sulit dan sesuatu yang dicari-cari tanpa ada pedoman / petunjuk, kecuali hanya didasarkan atas tertibsurat-suratyang tauqifi itu. Padahal tertib surat-suratyang tauqifi tidaklah berarti harus ada hubungan antara ayat-ayat yang tauqifi itupun tidak berarti harus ada relevansi antara ayat-ayat al-Qur’an itu, apabila ayat-ayat itu mempunyai sebab-sebab nuzul Qur’an itu, apabila ayat-ayat itu mempunyai sebab-sebab nuzul Qur’an yang berbeda-beda. Hanya biasanya, tiap surat itu mempunyai maudhu’ (topik) yang menonjol dan bersifat umum, yang kemudian di atas maudlu’ itu tersusun bagian-bagian surat itu, yang ada hubungannya antara semua bagiannya itu. Tetapi itu tidaklah berarti ada kesatuan atau persamaan maudlu’ pada semua surah al-Qur’an.

Kriteria/ukuran untuk menetapkan ada atau tidaknya munasabah antara ayat-ayat dan antara surat-suratadalah tamatsul atau tasyabuh (persamaan atau persesuaian) antara maudlu’-maudlu’nya. Maka apabila ayat-ayat/surat-surat itu mengenai hal-hal yang ada kesamaan/kesatuan yang berhubungan ayat-ayat permulaannya dengan ayat-ayat atau surat-surat secara logis dan dapat diterima. Tetapi apabila mengenai ayat-ayat atau surat-surat yang berbeda-beda sebab turunnya dan tentang hal-hal yang tidak sama atau serupa, maka sudah tentu tidak ada munasabah antara ayat-ayat atau surat-surat itu.

Dengan kriteria tersebut, maka dapat dibayangkan bahwa letak/titik persesuaian (munasabah / relevansi) antara ayat-ayat dan antara surat-surat itu kadang-kadang tampak jelas dan kadang-kadang tidak nampak dan bahwa jelasnya letak munasabah antara ayat-ayat itu sedikit kemungkinannya, sebaliknya terlihatnya dengan jelas letak munasabah antara surat-surat itu jarang sekali kemungkinannya. Dan hal ini disebabkan karena pembicaraan mengenai suatu hal, jarang bisa sempurna hanya dengan satu ayat saja.

C. Bentuk-Bentuk Munasabah

Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah Al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surah. Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :

1. Munasabah antara surah dengan surah.

2. Munasabah antara nama surah dengan kandunagan isinya.

3. Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.

4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surah.

5. Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.

6. Munasabah antara uraian surah dengan akhir uraian surah.

7. Munasabah antara akhir surah dengan awal surah berikutnya.

8. Munasabah antara ayat tentang satu tema.

Sebagaimana yang tertera diatas terdapat delapan bentuk munasabah yang dapat dirincikan. Namun, dalam makalah ini kami lebih menyimpulkan bentuk-bentuk munasabah itu menjadi dua yaitu munasabah antara surat dan munasabah antara ayat.

1. Munasabah Antar Surat

Munasabah antarsurat tidak lepas dari pandangan holistik al-Qur’an yang menyatakan al-Qur’an sebagai “satu kesatuan” yang “bagian-bagian strukturnya terkait secara integral”. Pembahasan tentang munasabah antarsurat dimulai dengan memposisikan surat al-Fatihah sebagai Ummu al-Kitab (induk al-Qur’an), sehingga penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka (al-Fatihah) adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi al-Qur’an. Penerapan munasabah antarsurat bagi surat al-Fatihah dengan surat sesudahnya atau bahkan keseluruhan surat dalam al-Qur’an menjadi kajian paling awal dalam pembahasan tentang masalah ini.

Surat al-Fatihah menjadi ummu al-Kitab, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum, yang dari masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat al-Fatihah. Ayat 1-3 surat al-Fatihah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Salah satunya adalah surat al-Ikhlas yang konon dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur’an. Ayat 5 surat al-Fatihah (Ihdina ash-shiratha al-mustaqim) mendapatkan menjelasan lebih rinci tentang apa itu “jalan yang lurus” di permulaan surat al-Baqarah (Alim, Lam, Mim. Dzalika al-kitabu la raiba fih, hudan li al-muttaqin). Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat al-Fâtihah dan teks dalam surat al-Baqarah berkesesuaian (munasabah).

Contoh lain dari munasabah antarsurat adalah tampak dari munasabah antara surat al-Baqarah dengan surat Ali Imran. Keduanya menggambarkan hubungan antara “dalil” dengan “keragu-raguan akan dalil”. Maksudnya, surat al-Baqarah “merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum”, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surat ali Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh Islam”.

Lantas bagaimana hubungan antara surat Ali Imran dengan surat sesudahnya? Pertanyaan itu dapat dijawab dengan menampilkan fakta bahwa setelah keragu-raguan dijawab oleh surat Ali Imran, maka surat berikutnya (an-Nisa’) banyak memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan sosial, kemudian hukum-hukium ini diperluas pembahasannya dalam surat al-Maidah yang memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi. Jika legislasi, baik dalam aras hubunhgan sosial ataupun ekonomi, hanya merupakan instrumen bagi tercapainya tujuan dan sasaran lain, yaitu perlindungan terhadap keamanan masyarakat, maka tujuan dan sasaran tersebut terkandung dalam surat al-An’am dan surat al-A’raf.

2. Munasabah Antar Ayat

Kajian tentang munasabah antarayat, sama seperti kajian tentang munasabah antarsurat, berusaha menjadikan teks al-Qur’an sebagai kesatuan umum yang mengacu kepada berbagai hubungan yang mempunyai corak “interptretatif”. Abu Zaid dalam mengkaji munasabah antarayat tidak memasukkan unsur eksternal, dan tidak pula berdasarkan pada bukti-bukti di luar teks. Akan tetapi teks dalam ilmu ini merupakan bukti itu sendiri.

Dalam memberi contoh munasabah antarayat, penulis akan mengemukakan bagaimana Muhammad Syahrour menafsirkan dan mengaitkan satu ayat dengan ayat lain untuk menampilkan makna otentik, yang dalam hal ini penulis pilihkan tentang masalah poligami.

Al-Qur’an surat an-Nisa’(4) ayat 3 adalah ayat yang menjadi rujukan fundamental (dan satu-satunya) dalam urusan poligami dalam ajaran Islam :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (an la tuqsithu) terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil (an lâ ta’dilu), kama (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa’/4:3)

Syahrur (1992) dalam magnum opus-nya al-Kitab wa-al-Qur’an:Qira’ah mu’asyirah, menjelaskan kata tuqsithǔ berasal dari kata qasatha dan ta’dilǔ berasal dari kata ‘adala. Kata qasatha dalam lisân al-Arâb mempunyai dua pengertian yang kontradiktif; makna yang pertama adalah al-‘adlu (Q.S. al-Mâidah/5:42, al-Hujarat/49:9, al-Mumtahanah/60:8). Sedangkan makna yang kedua adalah al-Dzulm wa al-jur (Q.S. al-Jinn:14). Begitu pula kata al-adl, mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ (baca sama, lurus) dan juga bisa berarti al-a’waj (bengkok). Di sisi lain ada berbedaan dua kalimat tersebut, al-qasth bisa dari satu sisi saja, sedang al-’adl harus dari dua sisi.

Dari makna mufradat kata-kata kunci (key word) Q.S an-Nisa’/4:3 menurut buku al-Kitab wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah karya Syahrur, maka diterjemahkan dalam versi baru (baca : Syahrur) ayat itu sebagai berikut :

“Kalau seandainya kamu khawatir untuk tidak bisa berbuat adil antara anak-anakmu dengan anak-anak yatim (dari istri-istri jandamu) maka jangan kamu kawini mereka. (namun jika kamu bisa berbuat adil, dengan memelihara anak-anak mereka yang yatim), maka kawinilah para janda tersebut dua, tiga atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak kuasa memelihara anak-anak yatim mereka, maka cukuplah bagi kamu satu istri atau budak-budak yang kamu mikili. Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan zalim (karena tidak bisa memelihara anak-anak yatim)”

Ayat di atas adalah kalimat ma’thufah (berantai) dari ayat sebelumbya “wa in …” yang merupakan kalimat bersyarat dalam kontek haqq al-yatâmâ, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (wa âthǔ al-yatâmâ) harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakana (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar” (Q.S. an-Nisa’/4:2) Dan jika teori batas (nadhariyah hududiyah) Syahrur diterapkan dalam menganalisis ayat itu, maka kan memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas).

Pertama, hadd fi al-kamm. Ayat itu menjelaskan bahwa hadd al-adnâ atau jumlah minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu, karena tidak mungkin seorang beristri setengah. Adapun hadd al-a’la atau jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Manakala seseorang beristri satu, dua, tiga atau empat orang, maka dia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah, tapi jikalau seseorang beristri lebih dari empat, maka dia telah melanggar hudŭd Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam, tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan (hadd fi al-kayf).

Kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut masih dalam kondisi bikr (perawan) atau tsayyib/armalah (janda)? Syahrur mengajak untuk melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat yang termaktub memakai shighah syarth, jadi seolah-olah, menurut Syahrur, kalimatnya adalah : “Fankihǔ mâ thaba lakum min al-nisâ’ matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ’ …” dengan syarat kalau “ wa in khiftum an lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”. Dengan kata lain untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat dipersyaratkan dari armalah/ (janda yang mempunyi anak yatim). Maka seorang suami yang menghendaki istri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya yang yatim. Hal ini, menurut Syahrur, akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.

Interpretasi seperti itu dikuatkan dengan kalimat penutup ayat :”dzâlika adnâ an lâ ta’ūlū”. Karena ya’ūlū berasal dari kata aul artinya katsratu al-iyâl (banyak anak yang ditanggung), maka yang menyebabkan terjadinya tindak kedzaliman atau ketidakadilan terhadap mereka. Maka ditegaskan kembali oleh Syahrur, bahwa ajaran Islam tentang poligami, bukan sekedar hak atau keleluasaan seorang suami untuk beristri lebih dari satu, akan tetapi yang lebih esensial dari itu adalah pemeliharaan anak-anak yatim. Maka dalam konteks poligami di sini tidak dituntut adâlah (keadilan) antar istri-istrinya (lihat firman Allah Q.S. al-Nisa’/4:129).

Bentuk lain munasabah antar ayat adalah tampak dalam hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini misalnya dalam surat al-Mu’minun, ayat pertama yang berbunyi “qad aflaha al-mu’minun” lalu di bagian akhir surat tersebut berbunyi “innahu la yuflihu al-kafirun”. Ayat pertama menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang mu’min, sedangkan ayat kedua tentang ketidakberuntungan orang-orang kafir.

Munasabah antar surat ini juga dijumpai dalam contoh misalnya kata muttaqin dalam surat al-Baqarah : 2, dijelaskan oleh ayat berikutnya yang memberi informasi tentang ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa (muttaqun)

D. Relevansi Ilmu Munasabah dengan Tafsir Al-Qur’an

Ayat-ayat Al-Qur’an telah tersusun sebaik-baiknya berdasarkan petunjuk dari Allah SWT, sehingga pengertian tentang suatu ayat tidak bisa dipahami apabila tidak mempelajari ayat-ayat sebelumnya. Kelompok ayat satu tidak dapat dipisahkan dengan kelompok ayat berikutnya. Antara satu ayat dengan ayat sebelum kelompok ayat berikutnya. Antara satu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya mempunyai hubungan erat dan kait mengait, merupakan mata rantai yang sambung menyambung. Hal inilah yang disebut dengan Munasabah ayat.

Asbabun Nuzul sebagaimana telah disebutkan pada uraian terdahulu membahas ayat dari segi sebab-sebab diturunkan atau latar belakang historinya, maka Munasabah membahas dari sudut hubungan ayat-ayat atau surat-surat.

Menurut Imam Muhammad Abduh, suatu surat mempunyai kesatuan makna dan erat pula hubungannya dengan surat sebelum atau sesudahnya. Apabila suatu ayat belum atau tidak diketahui Asbabun Nuzulnya, atau ada Asbabun Nuzul tapi riwayatnya lemah, maka ada baiknya pengertian suatu ayat ditinjau dari sudut munasabahnya dengan ayat sebelumnya maupun dengan sesudahnya.

Jumhur Ulama berpendapat bahwa menjelaskan ayat dengan mencari asbabun nuzulnya adalah jalan yang kuat dalam memahami makna Al-Qur’an atau sebagaimana kata Ibnu Taimiyah “mengetahui sebab nuzul sangat membantu dalam memahami ayat” akan tetapi, tanpa asbabun nuzul pun suatu ayat dapat dipahami maknanya asal seorang mufassir mempunyai pengetahuan yang luas tentang munasabah.

Dalam hal ini, kadang-kadang pengertian yang diberikan oleh munasabah lebih kuat dan rasional dibandingkan dengan asbabun nuzul. Hal ini dapat dikemukakan dengan sebuah contoh yang terdapat dalam Tafsir Al-Manar.

Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 88-89, yang artinya “Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, Padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,” (QS. An-Nisaa’:88-89)

Menurut Bukhari yang menceritakan sebab nuzul ayst itu dalam sahihnya, bahwa ayat itu diturunkan karena timbulnya perpedaan pendapat dikalangan umat Islam mengenai orang munafik. Ketika para sahabat Rasulullah kembali dari perang Uhud, timbullah perselisihan antara orang munafik itu. Sebagian berpendapat mereka harus dibunuh (karena khianat, tidak ikut berperang/tidak jadi perjalanan ke Uhud). Yang lain berpendirian, tidak perlu dibunuh. Kemudian turunlah ayat “mengapa kamu menjadi dua golongan tentang soal orang yang munafik ...”. kemudian Rasulullah bersabda “sesungguhnya, hal demikian adalah kebaikan yang menghapuskan kejahatan sebagaimana api menghilangkan kotoran perah”.

Menurut riwayat Ahmad, ayat di atas diturunkan berhubungan dengan kedatangan serombongan orang arab menghadap Rasulullah SAW di Madinah. Mereka masuk Islam kemudian ditimpa oleh wabah penyakit yang ketika itu sedang berjangkit. Mereka tidak tahan lalu keluar dari Madinah. Dalam perjalanan pulang, mereka berpapasan dengan serombongan sahabat itu dan bertanya mengapa mereka meninggalkan Madinah. Mereka menerangkan karena ditimpa demam di Madinah. “Kenapa kamu tidak mengambil teladan yang baik dari Rasulullah?” tanya sahabat kembali.

Sahabat-sahabat itu terpecah dua dalam menentukan sikap terhadap mereka yang lari itu. Segolongan memandang mereka munafik, yang lain menganggap mereka masih tetap Islam. Lalu turunlah ayat yang mencela sikap orang mukmin itu.

Menurut Muhammad Abduh, terlepas apakah kedua riwayat yang saling bertentangan itu memang mengenai orang munafik yang tidak patuh pada Nabi dan meragukan kebenaran Al-Qur’an, namun dari sudut munasabah ayat, pengertian ayat 88-89 ini masih erat hubungan dengan ayat sebelumnya, yakni soal perang melawan orang munafik. Jadi harus diartikan: “Kenapa menyebabkan kamu terpecah kepada dua golongan?”

Demikianlah, Muhammad Abduh mengutamakan munasabah ayat dari asbabun nuzul, sekalipun haditsnya sahih, apalagi kalau asbabun nuzul itu sendiri satu dengan yang lain bertentangan isinya. Bagi kita, baik asbabun nuzul maupun munasabah ayat, sangat membantu dalam menerangkan makna yang terkandung dalam ayat. Andaikata satu riwayat bertentangan dengan riwayat lain mengenai asbabun nuzul dari ayat yang sama, sebaiknya dipilih dari riwayat yang paling sahih. Demikian pula, munasabah dapat dipergunakan sebaik mungkin bilamana ia tidak menyimpang dari apa yang telah diterangkan dalam asbabun nuzul.

Dapat kita simpulkan dari pernyataan diatas, asbabun nuzul itu sebagai pengetahuan yang diperoleh dari riwayat (hadits atau atsar) dan munasabah yang diperoleh dari ijtihad munasabah juga sering disebut oleh para ulama dengan siyaaqul aayaat.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i (1997). Ulumul Quran I, Solo: Pustaka Setia.

Fadliyanur (2008). Ilmu Al-Qur’an-Munasabah. Dari http://fadliyanur.blogspot.com/2008/02/ilmu-al-quran-munasabah.html, 16 Maret 2010

Halimatus Sa'dyah (2009). Ilmu Munasabah. Dari http://halimasadyah.blogspot.com/2009/12/ ilmu-munasabah.html, 16 Maret 2010

0 komentar:

Posting Komentar