Jumat, 07 Mei 2010

Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus".
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.

Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma'na), sedang redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.
Dengan demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadits-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an. Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.

B. Tujuan Penulisan
Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan hadits Nabi secara kuantitatif cukup banyak sekali, walaupun Fazlur Rahman mengatakan "hadits-hadits Nabi memang sedikit jumlahnya". Selain perkembangan hadits yang cukup banyak, juga banyak istilah-istilah yang digunakan. Pada masyarakat umum yang dikenal adalah Hadits dan as-Sunnah, sedangkan pada kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar dan Atsar. Untuk itu, pada pembahasan makalah ini akan membahas pengertian dari hadits, sunnah, khabar, dan atsar


BAB II
PEMBAHASAN MATERI
Hadits, Sunnah, Atsar dan Khabar

A. Hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti:
1. al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2. Qorib (yang dekat)
3. Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Hadits yang bermakna Khabar ini diisytiqaqkan dari tahdits yang bermakna riwayat atau ikhbar (mengabarkan). Apabila dikatakan haddatsana bi haditsin, maka maknanya akhbarana bini haditsun (dia mengabarkan sesuatu kabar kepada kami).
Ringkasnya, lafadz hadits bukan sifat musyabbahah, walaupun dia sewazan karim. Jamaknya, Hudtsan atau Hidtsan, dan dijamakan juga terhadap ahadits. Jamak inilah yang dipakai untuk jamak hadits yang bermakna khabar dari Rasul.
Hadits-hadits dari Rasulullah dikatakan Ahaditsul Rasul, tidak pernah dikatakan dengan hudstanul Rasul, sebagaimana tida pernah disebutkan Uhdutsatul Rasul.
Maka dari itu sebagai ulama berkata, lafadz ahadits bukan jamak dari hadits yang bermakna khabar, tetapi merupakan isim jamak. Mufrad ahadits yang sebenarnya, ialah uhdutsah, yang bermakna sesuatu berita yang dibahas dan sampai dari seseorang ke seseorang.
Menurut Al Farra “Ahadits sebenarnya jamak dari uhdutsah, kemudian dijadikan jamak bagi hadits. Maka dari itu, mereka tidak mengatakan uhdutsah Nabi.”
Sebagian ulama menetapkan, bahwa lafadz ahadits jamak dari hadits yang tidak menurut qiyas atau jamak yang syadz.
Menurut Az Zarkasyy dalam Al Kasysyaf, “Ahadits adalah isim jamak bagi hadits bukan jamaknya”. Juga dalam Al Bahrul Muhith, “Lafadz hadits bukan isim jamak, dia jamak taktsir bagi hadits yang tidak menurut qiyas seperti abathil. Isim jamak tida ada yang sewazan ini.”
Allah pun memakai kata haditsdengan arti khabar dalam firman-Nya:
1. Surah Ath-Thur ayat 34, yang artinya “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.”(Q.S. Ath-Thur: 34)

2. Surah Al- Kahfi ayat 6, yang artinya “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu Karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan Ini (Al-Quran).”(Q.S. Al-Kahfi: 6)

3. Surah Adh-Dhuha ayat 11, yang artinya “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Q.S. Adh-Dhuhaa: 11)
Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah : “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya”. Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk “hal ihwal”, ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya“.
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut: “Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya”.
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah
hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut: “Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara’”. tidak termasuk dalam hadits apabila sesuatu yang tidak bersangkutan dengan hokum, seperti urusan berpakaian.
Dalam pandangan Ushuliyyun, muradifnya sunnah, khabar, dan atsar juga sama seperti halnya dengan hadits.
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; “memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan sahabat atau tabi’in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’.

B. Sunnah
Menurut bahasa (lughat) sunnah bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik. Jamaknya, sunan.
Hadits yang diriwayat Muslim menyatakan bahwa sunnah itu adalah perjalanan/jalan, yang haditsnya berarti:
“Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dlab (serupa biawak), sungguh kamu memasukinya juga.”
Juga dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yang diartikan kedalam bahasa Indonesia:
“Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atanya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat.”

Terdapat juga dalam Al-Qur’an yang menunjukan arti sunnah secara bahasa, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Surah Al-Kahfi ayat 55, yang artinya “Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk Telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang Telah berlalu pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka dengan nyata.” (Q.S. Al-Kahfi: 55)

2. Surah Al-Isra’ ayat 77, yang artinya “(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan kami itu.” (Q.S. Al-Isra’: 77)

3. Surah Al-Anfal ayat 38, yang artinya “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu." (Q.S. Al-Anfal: 38)

Juga masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukan arti sunnah, seperti surah Al-Hijr ayat 13, surah Al-Azhab ayat 38 dan 62, surah Al-Faathir ayat 43, surah Al-Mukmin ayat 85, dan surah Al-Fath ayat 23.
Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) merupakan segala yang dinukilkan dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan maupun berupa taqrir, pengajaran sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW dibangkitkan menjadi Rasul maupun sesudahnya.
Sebagian besar para muhadditsin menetapkan, bahwa sunnah dalam arti ini menjadi muradif bagi perkataan hadits.
Sunnah, menurut pendapat ushuliyyun (ahli ushul fiqh) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW baik perkataan maupun perbuatan ataupun taqrir yang berkaitan dengan hukum. Makna ini yang diberikan kepada perkatan sunnah dalam sabda Nabi, yang artinya “Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (H.R. Malik).
Sunnah menurut istilah fuqaha, adalah sesuatu yang diterima dari Nabi SAW dengan tidak difadlukan dan tidak diwajibkan.”
Secara garis besar seluruh fuqaha sependapat menetapkan bahwa yang dikatan sunnah merupakan sesuatu suruhan yang tidak difardlukan dan tidak diwajibkan, yang tidak berat suruhannya”.
Akan tetapi ada pendapat sebagian kecil yaitu fuqaha Hanafiyah dan Syafi’iyah tidak bersependapat dalam memberikan pengertian sunnah ini.
Menurut ulama Hanafiyah, yang dikatan sunnah ialah sesuatu yang diberikan pahala orang yang mengerjakannya, tidak disiksa orang yang meninggalkannya. Ulama Hanafiyah membagi sunnah ini menjadi, sebagai berikut:
1. Sunnah Huda, sesuatu yang dilaksanakan untuk menyempurkan kewajiban-kewajiban agama, seperti adzan dan jama’ah. Orang yang tidak mengerjakan sunnah ini dikatakan sesat. Sehingga apabila penduduk negeri sepakat tidak mengerjakannya, haruslah negeri itu diperangi.
2. Sunnah Za-idah, segala urusan-urusan adat (kebiasaan) yang dilaksanakan oleh Nabi SAW. Seperti urusan makan, minum, memakai pakaian dan tidur. Sesuatu yang diperintahkan, tetapi tidak masuk ke dalam yang difardlukan, diwajibkan dan disunnahkan, mereka namakan: Nafal.
Ulama-ulama Syafi’iyah membagi sunnah kepada dua bagian:
1. Sunnah muakkadah, hal-hal yang dikerjakan secara tetap oleh Nabi (yang tidak diberatkan kita mengerjakannya seperti sunah rawatib dan sunah subuh).
2. Sunnah ghairu muakkadah, hal-hal yang tidak difardlukan dan tidak dikerjakan Nabi secara tatap (sembahyang sunnat sebelum maghrib dan sebelum isya).”

C. Khabar
Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Jamaknya akhbar. Muradifnya naba’ yang jamaknya anba’. Sedangkan orang yang banyak menyampaikan khabar itu disebut khabir.
Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu'. Ulama lain, mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut Hadits. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah 'umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits.
Menurut istilah sumber ahli hadits, baik berita dari Nabi maupun berita dari sahabat, ataupun berita dari tabi'in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala berita yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW saja.
Ada juga yang mengatakan khabar dan hadits diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai atsar.

D. Atsar
Atsar berdasarkan bahasa adalah bekasan sesuatu atau sisa sesuatu. Dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai doa ma’tsur. Jamaknya atsar dan utsur.
Menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Mengingat ini, dinamailah ahli hadits dengan atsary.
Para fuqaha memakai perkataan atsar untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain.
Ada yang mengatakan atsar lebih umum dari pada khabar.
Atsar dihubungkan kepada yang datang dari Nabi dan yang selainnya, sedangkan khabar dihubungkan kepada yang datang dari Nabi saja.
Al Imam An Nawawy menerangkan bahwa fuqaha Khurasan menamai perkataan-perkataan sahabat (hadits mauquf) dengan atsar, dan menamai hadits Nabi dengan khabar. Tetapi para Muhadditsun pada umumnya menamai hadits Nabi dan perkataan sahabat dengan atsar juga. Dan setengah ulama memakai pula kata atsar untuk perkataan-perkataan tabi’in saja.
Az Zarkasyi memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun, membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW (hadits marfu).
At Thahawy memakai kata atsar untuk yang datang dari Nabi dan sahabat. Ada sebuah kitab beliau bernama Mu’anil Atsar. Di dalamnya beliau terangkan hadits-hadits yang datang dari Nabi dan yang datang dari sahabat.
At Thabary memakai kata atsar untuk yang datang dari Nabi saja. Sebuah kitab beliau bernama Tahdzibul Atsar. Di dalamnya beliau menerangkan hadits-hadist Nabi saja.


E. Perbedaan Hadits dengan Sunnah, Atsar dan Khabar
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hadits dan Sunnah
Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
2. Hadits dan Khabar
Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar".


3. Hadits dan Atsar
Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in. "Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)". Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in.


BAB III
KESIMPULAN

Menurut Jumhur Ulama (ulama Hadits, Ulama Ushul, dan Ulama Fiqh) berpendapat istilah Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar, dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu : Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.


DAFTAR PUSTAKA

Edi (2008). Antara Sunnah, Hadits, Khabar dan Atsar. Dari http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/20, 19 April 2010.
Mudasir (1999). Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia.
Siti Hani Nursyamsiah (2010). Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar. Dari http://hanny.blogdetik.com/2010/03/19/hadits-sunnah-khabar-dan-atsar/, 19 April 2010.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy (1998). Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

0 komentar:

Posting Komentar